Subscribe:

Ads 468x60px

Kamis, 07 Agustus 2014

Dia Berbeda


“Aku mengenal bukan hanya namanya, tetapi juga secuil kehidupannya”

Pertemuan singkat itu  berawal dari sebuah program pengabdian masyarakat yang aku ikuti pada tanggal 14-18 Juli 2014 lalu. Tepatnya di sebuah desa kecil di Pulau Madura yang menurutku masih tergolong desa tertinggal.  Aku menyebutnyta tertinggal karena, dari sekian banyak desa yang pernah aku kunjungi, desa itulah yang paling unik. Terdapat di pesisir pantai,  tanah berkapur serta kegiatan ekonomi lokal masyarakatnya yang kurang berkembang dengan baik. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya menjalani hidup di daerah tersebut, jika dibandingkan dengan kemudahan hidup di Kota Yogyakarta yang sedang aku jalani saat ini.
Singkat cerita, di hari terakhir pengabdianku bersama teman – teman, aku berkunjung ke salah satu dusun yang kepadatan penduduknya cukup rendah. Tujuan kami adalah rumah salah seorang warga yang akan dijadikan lokasi pembelajaran untuk pelaksanaan program pertanian. 
Sebelum acara dimulai, sambil menunggu kedatangan ibu – ibu, aku melihat beberapa anak kecil yang sedang bermain di sana. Tetapi pandanganku tak lepas dari salah seorang anak perempuan berbaju merah motif polkadot dengan rambut hitam tergerai sebahu. Dia terlihat sangat antusias dengan acara ini. Berani berkenalan dengan kami tanpa kami minta sebelumnya, bagiku adalah sesuatu keberanian yang luar biasa. Jarang dan bahkan sebelumnya aku belum menemukan anak seperti ini selama empat hari aku tinggal di sana.
Sebut saja namanya “Aya”. Badannya tinggi kurus dengan kulit sawo matang. Dia sedang duduk di kelas 3 sekolah dasar. Aku menduga umurnya sekitar 9 tahun.  Senyum yang ia tawarkan tidak berbeda dengan senyum anak sembilan tahun lain.  Apalagi dalam genggamnya terselip selembar uang sepuluh ribuan. Senyum 227 nampaknya masih sangat berlaku dalam dirinya. J
Jujur, dalam diam aku sedikit penasaran dengan anak ini. Ralat. Bukan sedikit, tetapi banyak. Entah kenapa otak dan perasaanku ini sepakat mengatakan bahwa dia berbeda. Ada rahasia besar dibalik sikap dan cara bergaulnya. Satu pertanyaan terlontar untuknya “dimana mamaknya dek? Kok tidak diajak?” kemudian dia menjawab “di rumah”.
Dari pertanyaan itulah, akhirnya kami tahu tentang dirinya. Salah seorang ibu bercerita kepada kami:
Aya adalah anak perempuan yang lahir dari seorang ibu yang dahulunya hamil di luar nikah. Ayahnya tidak bertanggung jawab atas anak yang dikandung oleh wanita tersebut. Dan keluarganya kini menganggap bahwa ayah Aya sudah meninggal”. “Deg”, sontak kami kaget mendengarnya.
Ibunya kini bekerja di negara tetangga. Beliau  telah pergi meninggalkan Aya sejak 5 tahun yang lalu. Sekarang Aya hanya tinggal berdua dengan mamaknya yang sudah berusia senja. Mamak Aya bukanlah saudara dari sang ibu ataupun neneknya. Akan tetapi beliau adalah eyang buyut Aya.  Di usia beliau yang sudah tua, sikap dan perilakunya kembali lagi seperti anak kecil. Berdasarkan cerita yang kami peroleh, Aya dan mamaknya sering bertengkar. Karena dua- duanya bersikap seperti anak kecil. Rebutan makananpun sering terjadi diantara keduanya.
Selama lima tahun tersebut, Ibu Aya tidak pernah pulang utuk menjenguk buah hatinya  tersebut. Ketika kami menanyakan apakah Aya mempunyai nomor Ibunya, gadis tersebut  menjawan punya. Kemudian dia menjelaskan bahwa nomor tersebut tidak dapat dihubungi. Hati ini sungguh trenyuh mendengar ceritanya. Gadis 9 tahun yang seharusnya dekat dengan kedua orangtuanya sehingga hidupnya dinaungi dengan kasih sayang tulus, tetapi nyatanya dia harus menghadapi pahitnya kehidupan dalam kesepian bersama eyang buyut.
Kesedihan Aya belum berakhir sampai disitu. Melihat Aya yang tidak mempunyai ayah, teman – teman bermain dan teman – teman sekolahnya memanggilnya dengan sebuah panggilan yang menurutku sangat tidak patut. Tidak pantas digunakan walaupun yang memanggilnya adalah anak kecil.  Beban psikologis dan beban sosial harus ditanggung oleh anak sekecil Aya yang disebabkan oleh perilaku bejat orangtuanya dahulu. Aku tahu sesungguhnya Ia tidak ingin terlahir dalam keadaan seperti itu. Tapi apakah Aya bisa memilih dari perut siapa Ia dilahirkan? Mungkin ini adalah ketentuan Tuhan. Aku yakin bahwa Tuhan sedang memberikan cobaan kepada Aya karena Dia sayang padanya. Tuhan ingin menjadikan Aya sebagai manusia yang lebih kuat dan tegar dibanding manusia lainnya.

“Aku kasihan yaa”, celetuknya. 
Bagaimana mulut ini harus menjawab???
Bilang “Tidak” tapi faktanya demikian, menjawab “Iya” khawatir akan menumbuhkan kesedihan pada dirinya. Pengalihan pembicaraan dan senyum termanis adalah solusi terbaiknya.

“Aya kangen nggak sama ibu?”

Di balik tawanya dia rindu, di tengah kesepiannya dia bercanda. Sekarang aku tahu jawabannya. Aya sangat mudah dekat dengan kami adalah untuk memecah kesepian hidupnya. Dia mudah akrab dengan kami adalah untuk memberikan senyum dalam hidupnya. Kami dengan senang hati menerimanya. J

"Aya masih ingat nggak wajah Ibu?"

Dengan polosnya dia berkata bahwa dia sudah lupa. Dia lupa dengan wajah seorang wanita yang seharusnya berada di sampingnya sekarang. Dia lupa dengan wajah ibu yang seharusnya menyiapkan sarapan baginya di pagi hari, kemudian mengantarnya sampai depan pintu rumah ketika hendak pergi ke sekolah. Maklum. Aya masih terlalu kecil untuk mengenali wajah ibunya waktu itu ketika sang Ibu belum meninggalkannya.

"Aku punya foto ibu", lanjutnya.

Hanya dengan sebingkai foto kusam yang di dalamnya terdapat sesosok perempuan itulah dia mencoba mengumpulkan sisa - sisa ingatan tentang wanita yang dia banggakan itu. Dari selembar foto itulah dia mencoba mengenal dan menyayangi wanita yang kini berada di tempat yang kata Aya harus ditempuh dengan naik kereta.

"Dek, naik keretapun tak akan sampai kalau kamu ingin menemui ibumu. Kamu harus menyeberangi laut yang luas dengan ombak yang tinggi dan angin kencang untuk sampai ke sana. Tetapi yakinlah dek, jarak yang jauh akan terasa dekat jika Allah meridhoinya."

Andai aku adalah dirinya, mungkin setiap hari aku akan memohon “ibu, kembalilah.. rinduku ini sudah tiada terkira. Ibu, aku sangat ingin tahu bagaimana rasanya dibelai rambutku olehmu dan juga pelukanmu, karena aku sudah lupa bagaimana rasa itu”. “Tuhan, aku ingin keluarga yang utuh sebagaimana teman – temanku. Keluarga yang akan menjadi tempat peraduanku ketika aku dijahili oleh teman – temanku serta keluarga yang akan mengusap air mataku ketika aku sedang berduka. Aku ingin kehangatan itu ada dalam hidupku. Kehangatan yang datang dari keluarga  utuh. Walaupun aku tahu, ini rasanya....... sulit”
Dia memang berbeda. Dia tampak tegar dengan segala kondisi yang ada pada dirinya sekarang. Dia tampak kuat dan aku yakin dia kuat. Mungkin baginya umpatan dari teman – teman hanyalah kicauan burung kecil yang sudah mulai ramah terdengar di telinganya. Mungkin kesepian dan kesunyian hidupnya saat ini adalah sahabat terindahnya, dan hari esok adalah tantangan menarik yang harus diselesaikan.

“Nanti malam kami akan pulang dek Aya”

Kemudian matanya berkaca – kaca dan akhirnya menangis. Aku sungguh kaget melihart reaksi ini. Aku tahu ini bukan tangis bahagia, tapi sebaliknya. Dalam waktu kenal yang singkat dia sudah bisa merasa memiliki kami dan menyayangi. Perpisahan ini terasa berbeda. Lebih menyedihkan. Sulit bagiku menyembunyikan kesedihan dalam senyum.

Jujur. Ketika saya selesai menulis tulisan ini, saya masih ingat lekuk wajahnya. Aku masih memikirkannya.Tidak bisa kubayangkan bagaimana rasanya hidup dalam keadaan seperti itu. Aku sedang membayangkan bagaimana nanti ketika dia beranjak dewasa? Bagaimana nanti masa depannya? Aku hanya takut semakin ia dewasa dia sulit menerima keadaannya. Tapi aku yakin, seorang anak setegar Aya akan mampu melalui lika-liku kehidupannya itu, meskipun tidak akan mudah. Semoga cita – citamu menjadi seorang dokter, kelak akan tercapai. AMIIN


Saya sangat bersyukur dengan kedaan saya. Mempunyai orangtua lengkap yang selalu siap menerima curahan hati saya.


~*Perjalanan ini memang menyenangkan, karena dari situlah saya bisa belajar dan mengenal lebih tentang kehidupan *~


0 komentar:

Posting Komentar